Ace Attorney Pernah di Anggap Proyek Gagal
Raden Erlangga – Di era di mana biaya pengembangan game bisa mencapai puluhan juta dolar untuk satu judul saja, tak heran jika banyak developer dan publisher enggan ambil risiko dengan menciptakan IP baru. Dan belakangan ini, seorang veteran industri kembali mengangkat topik itu ke permukaan, dan memantik diskusi hangat di kalangan pengembang.
Taira Nakamura, produser game di Bandai, lewat akun X-nya baru-baru ini membagikan keresahannya tentang sulitnya menciptakan dan mengembangkan IP baru di industri game modern. Tapi yang menarik, pernyataannya langsung mendapat respons dari Masakazu Sugimori, mantan developer Capcom dan komposer untuk dua game pertama Ace Attorney.
“Sukses Itu Tidak Instan, Bahkan Untuk Monster Besar Sekalipun”
Menurut Nakamura, IP besar seperti Pokémon atau Monster Hunter bukanlah kesuksesan semalam. Mereka dibentuk lewat proses panjang, penuh iterasi, dan dukungan bertahun-tahun. Namun sayangnya, di industri game saat ini, ketika sebuah game baru tidak langsung menghasilkan keuntungan besar, ia cepat-cepat dilabeli “gagal.”
“IP itu perlu dipelihara. Penting untuk berpikir jangka panjang, bukan hanya melihat performa penjualan perdana,” ujar Nakamura.
Ia menyoroti bagaimana biaya produksi yang membengkak bisa menyebabkan game yang secara teknis sukses secara kualitas tetap dianggap gagal hanya karena tidak menghasilkan profit besar secara instan. Akibatnya? Tak ada sekuel, dan IP tersebut pun mati sebelum tumbuh.
Sugimori: Ace Attorney Sempat Dianggap Gagal
Menanggapi pernyataan tersebut, Masakazu Sugimori, yang turut membentuk identitas musikal Ace Attorney serta menyuarakan karakter ikonik Manfred von Karma, langsung mengungkap fakta mengejutkan: Phoenix Wright: Ace Attorney awalnya juga dianggap gagal secara internal di Capcom.
Sugimori menyebutkan bahwa game pertama hanya terjual sekitar 70.000–80.000 kopi saat minggu peluncuran di Game Boy Advance. Sementara itu, game Capcom lain seperti Devil May Cry atau Resident Evil bisa langsung mencatatkan penjualan jutaan kopi.
“Phoenix Wright memang impas, tapi itu bukan hit. Tidak ada yang melihatnya sebagai sukses besar pada waktu itu,” ujar Sugimori.
Namun, berkat tekad dari sutradara seri, Shu Takumi, Capcom tidak menyerah. Mereka terus mendorong kelanjutan seri ini hingga game ketiga. Dan saat itulah momentum mulai terbangun.
Dari Game Niche ke Budaya Populer
Keputusan Capcom untuk tidak menyerah pada IP ini akhirnya membuahkan hasil. Setelah trilogi awal, popularitas Ace Attorney melonjak. Tak hanya dikenal sebagai game niche dengan tema hukum yang unik, tapi juga berkembang menjadi IP multimedia dengan:
- Film live action garapan Takashi Miike
- Adaptasi anime
- Pertunjukan panggung
- Bahkan crossover dengan Professor Layton dan kolaborasi dalam berbagai event digital
Sugimori menyimpulkan, Ace Attorney adalah contoh nyata bahwa IP besar tidak selalu lahir dari kesuksesan instan. Ia lahir dari keteguhan hati, kesabaran, dan kemauan publisher untuk terus mendukung visi kreator.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kisah Ace Attorney?
Kisah Ace Attorney menunjukkan bahwa dalam industri kreatif seperti game, sukses tidak selalu berarti instan. Banyak IP legendaris yang membutuhkan waktu, eksperimen, dan keyakinan dari para kreator maupun publisher untuk bisa berkembang.
Jika Capcom waktu itu langsung membatalkan proyek sekuel hanya karena angka penjualan minggu pertama yang “biasa saja,” mungkin Phoenix Wright tidak akan pernah menjadi ikon pop culture seperti sekarang.
Jangan lupa follow semua media sosial Share Button Media buat selalu update di dunia dalam gaming!