Guillaume Broche Menyebut JRPG Sebagai Bagian dari Masa Kecilnya
Raden Erlangga – Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruh JRPG semakin meluas hingga melahirkan karya-karya baru dari pengembang di luar Jepang yang tetap menjaga esensi khas genre tersebut. Salah satu contoh paling menarik datang dari Prancis lewat game Clair Obscur: Expedition 33, yang disutradarai oleh Guillaume Broche.
Dalam sebuah wawancara dengan denfaminicogamers, Broche mengungkapkan bagaimana kecintaannya terhadap JRPG membentuk karier dan karyanya sebagai game developer, serta bagaimana Expedition 33 menjadi wujud nyata dari penghormatan terhadap genre yang membesarkan namanya.
Dibesarkan oleh Anime dan JRPG
Guillaume Broche tumbuh besar di Prancis pada era 1990-an hingga awal 2000-an. Yaitu masa di mana anime Jepang ditayangkan secara luas di televisi Prancis. Dari sinilah ia mengenal budaya Jepang secara lebih dalam, dan minat itu pun meluas ke dunia video game, khususnya JRPG. Ia menyebut Final Fantasy VIII sebagai titik awalnya jatuh cinta pada genre ini.
“FF8 adalah game pertama saya di konsol pertama saya, PlayStation. Saya belajar bermain game dan bahkan bahasa lewat game itu,” kenangnya sambil tertawa. Ia mengakui bahwa dulunya ia sempat kesulitan mengalahkan boss karena belum memahami mekanismenya.
Tak berhenti di Final Fantasy, Broche menjelajahi berbagai seri ikonis seperti Suikoden, Atelier, Shadow Hearts, Persona, Legend of Dragoon, dan Shin Megami Tensei. Dengan nada bercanda, ia bahkan mengatakan, “Saya sudah memainkan semua game Jepang!”
JRPG di Prancis dan Masa Sulit di 2000-an
Walau Broche pribadi sangat mencintai JRPG, ia mengakui bahwa secara umum, genre ini tidak pernah menjadi arus utama di Prancis. Popularitasnya sempat menurun drastis di era 2000-an, terutama karena persepsi negatif terhadap struktur linier dan gaya naratif yang dinilai terlalu “Jepang” oleh sebagian pemain Barat.
“Saat Lost Odyssey rilis, penerimaannya di Eropa sangat buruk. Itu masa di mana JRPG mendapat stigma negatif,” ujar Broche. “Sebagai seseorang yang mencintai genre ini, saya merasa frustrasi.”
Karena minimnya game baru dalam genre tersebut, Broche sempat mengalihkan perhatiannya ke fighting game seperti Guilty Gear. Namun cintanya terhadap JRPG tak pernah pudar. Justru pengalaman ini semakin memperkuat tekadnya untuk suatu hari menciptakan game JRPG versinya sendiri.
Perbedaan Fundamental: RPG Jepang vs Barat
Dalam diskusi mendalam bersama Hajime Tabata, eks produser Final Fantasy XV, Broche membedah perbedaan antara RPG Jepang dan Barat. Terutama dari segi narasi dan filosofi desain.
Tabata menyebut RPG Jepang cenderung fokus pada “alasan di balik pertarungan”, bahwa musuh harus punya motivasi. Dan sering kali karakter yang dulunya adalah musuh bisa menjadi sekutu dalam menghadapi ancaman yang lebih besar. Hal ini, katanya, berasal dari budaya Jepang yang menjunjung tinggi transformasi karakter dan kompleksitas emosional. Seperti yang sering terlihat di anime.
Broche pun setuju dan menambahkan bahwa RPG Barat cenderung mempertahankan nuansa serius dari awal hingga akhir, dengan dunia yang lebih realistis dan kelam. Narasi dalam RPG Barat biasanya dibentuk berdasarkan pilihan pemain. Sedangkan JRPG menyajikan cerita yang kuat dan linier, membuat pemain lebih seperti penonton aktif terhadap perkembangan karakter.
“Di JRPG, kita mengikuti karakter, menyaksikan mereka tumbuh dan belajar. Kita tak memilih arah ceritanya, tapi justru ikut terlibat secara emosional dalam perkembangan mereka. Itulah kenapa saya menyukainya,” jelas Broche.
Kekuatan “Pertumbuhan” dalam JRPG
Salah satu nilai paling penting dalam JRPG, menurut Broche dan Tabata, adalah unsur pertumbuhan. Cerita klasik tentang karakter lemah yang akhirnya menjadi pahlawan besar tidak hanya memikat secara naratif. Tapi juga menciptakan rasa pencapaian bagi pemain.
Broche mengutip sebuah lelucon populer: “Game Jepang? Mulai dari ngalahin tikus, dan berakhir ngalahin dewa.” Ia percaya bahwa sistem perkembangan karakter dalam JRPG bukan hanya mekanik gameplay, tapi juga simbol dari perjalanan emosional yang mendalam.
“Melalui sistem yang kompleks seperti Junction di FF8, saya belajar pentingnya memahami strategi dan membangun karakter. Begitu sistemnya dipahami, game itu benar-benar luar biasa,” katanya penuh antusiasme.
Menawarkan Pengalaman Emosional dan Imajinatif
Broche menekankan bahwa tujuan utamanya dalam membuat Expedition 33 bukan hanya untuk menciptakan game yang menyenangkan. Tapi juga menawarkan pengalaman emosional yang menginspirasi.
Ia merasa bahwa RPG, khususnya JRPG, punya kekuatan untuk membawa pemain ke dunia yang belum pernah mereka lihat. Membentuk ikatan dengan karakter, dan memberi mereka rasa pertumbuhan pribadi. Sebagai pembuat game, ia ingin mengajak pemain mengalami keajaiban ini lagi.
Tabata menambahkan bahwa melalui cerita tentang kerja sama dan pertumbuhan, RPG bisa memberikan sesuatu yang menyentuh hati.
“Kalau setelah bermain, hati pemain bisa tumbuh sedikit saja, maka itu adalah kemenangan,” kata Tabata.
Clair Obscur: Expedition 33 bukan sekadar game baru yang terinspirasi dari JRPG. Ia adalah manifestasi dari cinta dan dedikasi panjang seorang penggemar terhadap genre yang membentuk hidupnya. Melalui pengalaman pribadi, pengaruh budaya Jepang, dan pemahaman mendalam tentang RPG. Guillaume Broche menyusun sebuah karya yang menjanjikan untuk menjadi penghormatan modern terhadap warisan JRPG. Di tangan seorang pemain yang belajar bahasa Jepang dari FF8, masa depan genre ini terlihat menjanjikan dan penuh harapan.
Jangan lupa follow semua media sosial Share Button Media buat selalu update di dunia dalam gaming!